"Bikin graffiti di public space itu seperti punya gengsi sendiri. Selain
itu adrenalin bakal terpacu, karena takut dikejar polisi atau
gangster," kenang Roy, yang pernah ke-gap sama gangster pas bikin
graffiti di public space. Yup. Selalu public space yang menjadi sasaran
para seniman jalanan ini untuk berkreasi. "Sebagian orang ada yang
nganggep graffiti sebagai karya seni, tapi nggak sedikit juga yang
bilang kalau coretan-coretan itu malah ngerusak," kata Radi, seorang
mahasiswa seni lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB.
Jika graffiti ini dilakukan tanpa seizin pemilik tempat, perbuatan ini
dapat dikategorikan sebagai tindakan vandal. Mungkin banyak di antara
Belia yang belum tau apa itu arti vandalisme. Vandalisme bisa diartikan
sebagai tindakan yang merusak properti orang lain. It means, graffiti
atau mural yang dilakukan tanpa izin di tempat-tempat umum, bisa
dikategorikan sebagai vandalisme. Sementara, banyak orang yang
berpendapat, kalau graffiti di dinding-dinding jalan, masih lebih baik
daripada dinding-dinding tersebut kotor, tidak terawat, dan penuh dengan
tempelan flyers atau brosur-brosur yang nggak penting.
Kalau
Belia lewat Jalan Siliwangi, mata terasa lebih segar karena ngeliat
mural di sepanjang dinding jalan, pasti setuju kalau karya seni yang
seperti itu bukan termasuk perbuatan vandal. "Iyalah. Soalnya mural di
Siliwangi itu legal kok. Pihak Pemda, sekitar dua tahun lalu, pernah
ngasih proyek itu buat kita," kata Yogie, yang bareng Radi, jadi
konseptor pembuatan mural tersebut.
Mural yang berarti lukisan
pada permukaan yang lebar, memang terasa lebih legal dibandingkan dengan
graffiti yang berkesan liar. "Bedanya sih, mungkin hanya pada medianya
aja ya. Kalau graffiti banyak pake cat semprot, sementara mural make cat
tembok. Kalau nyeni atau nggaknya ya, tergantung yang liat. Nggak ada
parameter khusus," lanjut Yogie.
Senada dengan Yogie, Roy pun
bilang kalau bagus atau jelek itu relatif. "Susah sih, kalau mau bilang
bagus atau jelek. Isi tulisan-tulisannya, mungkin dibilang jelek tapi
malah keinget terus sama yang baca. Tapi graffiti di film Alexandria
saya bilang butut, sementara orang lain mungkin bilang itu bagus,"
tandas Roy sembari memberi contoh.
Legal atau nggaknya sebuah
karya di jalanan, bagi Roy yang juga lulusan FSRD ini, tetap dinilai
sebagai sebuah karya. "Di Jogja, graffiti dan mural malah dilegalkan.
Pemerintah setempat ngebolehin, bahkan menyediakan lahan untuk para
street art berkarya. Sementara di Bandung, belum ada pelegalan seperti
itu. Beda ceritanya kalau lu punya duit," katanya sedikit berapi-api.
Alih-alih sebagai tindakan vandal, graffiti, mural, tagging, dan
sebagainya adalah merupakan kebebasan berekspresi. Tetapi, kebebasan
berekspresi saat ini masih didominasi oleh kaum berduit, yang mampu
membeli tempat untuk menumpahkan kreativitasnya. Sementara para seniman
jalanan, mesti sembunyi-sembunyi atau malah kejar-kejaran dengan pihak
aparat hanya untuk berkreasi. "Seniman yang jelas-jelas bikin karya di
privat place aja sempat dibakar aparat, apalagi street art yang berkarya
di public space," lanjut Roy.
Setiap seniman punya style
masing-masing untuk mengekspresikan karyanya. Makanya, tidak sedikit
seniman yang malah "bersaing" untuk bisa menciptakan karya bagus di
tempat yang lebih lebar, misalnya, atau untuk meraih kepopuleran. Selain
saingan, ada juga proses pembelajaran yang diturunkan dari seniman yang
tergolong kelas senior kepada juniornya. "Yang baru belajar biasanya
jadi kenek dulu. Kerjaannya masih sebatas ngewarnain, atau bantuin yang
gampang. Seniornya, yang bikin sketsa di kertas dan di dinding," ujar
Roy.
Proses bikin graffiti atau mural kurang lebih sama.
Pertama, sketsa dibuat pada kertas, lalu kemudian sketsa tersebut
dipindahkan ke dinding. "Yang lebih gampang sih, si sketsa udah
"ditembakkin" pake proyektor, jadi nggak perlu bikin sketsa di tembok.
Tapi, ya, gengsinya mungkin lebih turun kalau dibantu pake proyektor,"
kata Roy lagi.
Nggak sedikit duit yang dikeluarin untuk bikin
satu graffiti atau mural. "Untuk bikin gambar di tembok yang berukuran
sedang, bisa habis kira-kira dua puluh kaleng cat semprot. Sementara ini
(garasi distro yang sedang dibuat graffiti-red) abis 40an kaleng,"
jelas Roy.
Sayang banget kan kalau hanya ngabisin cat semprot
untuk tulisan-tulisan yang nggak ada maknanya, atau malah bikin sebel
orang yang liat. Radi dan Yogie pun punya pendapat serupa. "Kalau mau
bikin graffiti atau mural, mending sekalian yang edun, daripada hanya
tulisan atau gambar yang teu kaharti."katanya.
Graffiti sampai
kapan pun mungkin bakal jadi kontroversi. Di satu pihak bakal bilang
kalau graffiti itu perbuatan vandal, tapi pihak yang lain mengartikan
seni, kebebasan berekspresi. Lain halnya di Yogyakarta, yang setiap
seniman bebas berkarya, pihak pemerintah pun nggak perlu repot-repot
ngejar-ngejar seniman yang bandel. Karya yang nggak bikin sakit mata,
lebih-lebih sakit hati, tentu bakal diapresiasi dengan baik oleh
masyarakat. Kebebasan berekspresi bisa saja diredam, tapi nggak bisa
dihentikan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar